Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, mendapat peringatan dari para anggota Komisi X DPR untuk bersikap hati-hati selama masa transisi dari kepemimpinan sebelumnya yang dipegang oleh Nadiem Makarim. Para anggota Komisi X menggarisbawahi bahwa setiap perubahan kebijakan pendidikan yang dilakukan akan langsung mempengaruhi masa depan generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan harus diambil dengan sangat hati-hati, melalui kajian mendalam dan konsultasi dengan berbagai pihak terkait.
Dalam rapat kerja yang berlangsung di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11/2024), sejumlah anggota Komisi X DPR menyampaikan saran dan pandangan mereka kepada Abdul Mu’ti. Anggota Komisi X dari Fraksi PDI Perjuangan, Sofyan Tan, menyatakan kekhawatirannya setelah melihat kabar di media sosial bahwa ada rencana perubahan kurikulum, padahal Kurikulum Merdeka baru saja diterapkan sebagai kurikulum nasional. Menurut Sofyan, kurikulum ini “seumur jagung” dan belum sepenuhnya dievaluasi dampaknya. Ia mengingatkan agar jangan sampai muncul persepsi di masyarakat bahwa setiap pergantian menteri selalu disertai dengan perubahan kebijakan atau kurikulum, karena hal itu akan membingungkan dan mengganggu stabilitas pendidikan.
Penetapan Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, yang berlaku sejak Maret 2024. Lebih dari 300.000 satuan pendidikan di Indonesia kini telah menerapkan kurikulum ini. Sofyan mengingatkan, “Jangan muncul pemeo setiap ganti menteri adalah penggantian kebijakan atau kurikulum. Hal-hal yang baik harus diteruskan. Saya percaya perubahan itu penting, tetapi kita jangan terus-menerus melakukan perubahan kurikulum.”
Dampak Perubahan Kurikulum bagi Guru dan Kualitas Pendidikan
Menurut Sofyan, setiap perubahan kurikulum mengharuskan lebih dari 3 juta guru di seluruh Indonesia untuk kembali mempelajari kurikulum baru. Ini menjadi beban tambahan bagi para guru, yang kesejahteraannya masih menjadi perhatian. Di sisi lain, perubahan kurikulum yang terlalu sering juga bisa berdampak pada kualitas pendidikan peserta didik, yang ujungnya malah mengorbankan masa depan mereka.
Anggota Komisi X dari Fraksi Gerindra, Ali Zamroni, turut menambahkan bahwa Abdul Mu’ti sebaiknya mengkaji secara mendalam wacana penerapan kembali ujian nasional (UN). Ia menyarankan agar menteri lebih sering berkomunikasi dengan Komisi X sebagai wakil rakyat di bidang pendidikan sebelum mengambil keputusan terkait kebijakan besar. “Mohon ini jangan terlalu gegabah, ini harus dikaji secara mendalam. Masa kita harus kembali dari nol? Tapi saya hormati kebijakan Mas Menteri Mu’ti yang akan melakukan perubahan kebijakan pendidikan,” ujarnya.
Ratih Megasari Singkarru, anggota Komisi X dari Fraksi Nasdem, berharap agar Abdul Mu’ti dapat memperjuangkan agar anggaran untuk pembangunan sarana dan prasarana pendidikan bisa kembali dikelola oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Selama ini, anggaran tersebut berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), yang terkadang menghambat upaya pemerataan pendidikan di berbagai daerah. Ratih menekankan bahwa peningkatan pendidikan di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) masih membutuhkan perhatian, baik dari segi sarana fisik maupun akses internet dan prasarana lainnya. “Kami di Komisi X sering merasa tidak bisa berbuat banyak ketika kembali ke dapil masing-masing, terutama saat masyarakat menanyakan soal ini,” kata Ratih.
Ratih juga menyoroti pentingnya penguatan bahasa Indonesia di daerah pelosok, terutama di daerah 3T, di mana banyak pelajar yang masih belum fasih berbahasa Indonesia. Selain itu, distribusi guru juga perlu diperluas agar ada pemerataan pendidikan di seluruh pelosok negeri. Ratih juga meminta agar Kemendikdasmen dapat mengatasi ketertinggalan belajar akibat pandemi Covid-19, yang masih terasa dampaknya hingga saat ini. Ini tercermin dalam skor Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia yang semakin menurun, dari skor 397 pada 2015 menjadi 359 pada 2022. Skor bidang matematika menurun dari 386 menjadi 366, sementara sains menurun dari 403 menjadi 383.
Abdul Mu’ti Akan Menjaring Aspirasi dari Berbagai Pihak
Menanggapi berbagai masukan tersebut, Abdul Mu’ti menegaskan bahwa semua rencana perubahan di dunia pendidikan masih dalam tahap gagasan awal. Ia menyatakan akan terlebih dahulu menjaring aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan pendidikan, mulai dari guru, kepala sekolah, pemerintah daerah, hingga murid, sebelum memutuskan arah kebijakan pendidikan. Dalam waktu dekat, ia berencana untuk mengumpulkan seluruh kepala dinas pendidikan dari berbagai daerah untuk berdiskusi tentang masa depan pendidikan Indonesia pada 11 November mendatang. Abdul Mu’ti menyebutkan bahwa kebijakan yang baik akan dipertahankan, sementara yang masih perlu perbaikan akan disempurnakan. “Jadi, yang baik-baik akan kita terus pertahankan, tetapi yang belum tentu harus kita sempurnakan. Kalau sama semua, untuk apa menterinya baru?” ujarnya.
Ketua Komisi X, Hetifah Sjaifudian, juga memberikan saran agar dalam setiap pengambilan kebijakan pendidikan, menteri seyogianya berpedoman pada ketentuan perundang-undangan, melalui kajian yang komprehensif serta evaluasi dari kebijakan sebelumnya. Hetifah mengingatkan bahwa anggaran pendidikan yang besar, yaitu 20 persen dari APBN, harus digunakan secara efektif untuk mencerdaskan bangsa sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945. “Saya harap, dalam menyusun program, nantinya sesuai dengan undang-undang. Kami ingatkan ini, Pak, sebelumnya peraturan menteri yang lalu banyak yang tidak sesuai, harus segera dievaluasi,” tegas Hetifah.